Marista Zelastia Eka Putri
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
E-Mail:Maristaeka413@gmail.com
Pasal 28 UUD 1945 menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, serta mengemukakan pendapat secara lisan dan tertulis. Media berita, termasuk media cetak, media elektronik, dan media lainnya, merupakan salah satu sarana penyampaian gagasan secara lisan dan tulisan. Oleh karena itu, perlindungan terhadap kebebasan pers untuk mencari dan menyebarkan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan hak asasi manusia yang dijamin oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang hak asasi manusia. setiap orang harus mematuhi Pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketentuan, hak untuk bertukar dan memperoleh informasi pasal 19 berbunyi“Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; ini termasuk kebebasan untuk mempertahankan pendapat tanpa gangguan, dan kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi dan gagasan melalui media apapun dengan tidak memandang batas wilayah.
Peran pers dalam pengendalian sosial juga sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, termasuk korupsi, kolusi, nepotisme, dan penipuan dan penyimpangan lainnya.
Pers menghormati hak asasi setiap orang dalam menjalankan fungsi, hak, kewajiban dan perannya.Oleh karena itu, pers yang profesional dan terbuka perlu dikendalikan oleh publik. Kontrol masyarakat yang dibahas mencakup setiap orang yang memiliki hak jawab dan koreksi, yang dilakukan dalam berbagai bentuk dan metode oleh lembaga-lembaga sosial seperti pengawasan media dan komite pers.
Peraturan Di Indonesia tentang kebebasan pers yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, terdapat beberapa lapisan mekanisme Negara
perlindungan bagi jurnalis dan media yang menghadapi sengketa hukum, misalnya adanya nota kesepahaman antara Komite Pers dengan Kapolri saat menghadapi proses peradilan, dan mediasi.
Negara indonesia memiliki media masa terbanyak
Pada tanggal 9 febuari 2018 hari pers nasional, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengungkapkan bahwa Indonesia menjadi negara yang paling banyak memiliki dan menggunakan media massa.
Dengan jumlah yang mencapai 47.000 yang terbagi menjadi media cetak, radio, televisi dan media online. Adapun sekitar 2.000 media cetak. tetapi dari jumlah tersebut hanya 567 media cetak yang bisa masuk dalam kategori profesional pada 2014. Sementara itu pada 2015, jumlahnya menyusut lagi menjadi 321 media cetak. Sedangkan media online atau siber diperkirakan mencapai angka 43.300. tetapi , yang tercatat hanya sebagai media profesional dan lolos syarat pendataan pada 2014 hanya 211 media online saja. Dari Angka ini menyusut menjadi hanya 168 media online pada 2015.
Selain itu akhir tahun 2014 tercatat ada 1.166 media radio dan 394 media televisi. Yang
dimana Pada tahun 2015, media radio mengalami penyusutan menjadi 674 media radio, sedangkan televisi bertambah menjadi 523 media televisi.
Namun Dewan Pers juga menyatakan dengan adanya ledakan media online itu muncul ‘wartawan tiba’ yang tidak sama sekali memiliki pengetahuan mengenai jurnalistik dan pemahaman tentang kode etik jurnalistik. Di Tambah lagi, menurut pengamatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) baru lima persen media online yang terdaftar di Dewan Pers. Yang dikarenakan Jumlah inilah yang menimbulkan persoalan baru dan konsekuensi langsung dalam penyelesaian sengketa pers yang selama ini telah disepakati.
Pembatasan aksi media
Melalui Permenkominfo No. 19 Desember 2014, Kementerian Komunikasi dan Informatika meluncurkan mekanisme pemblokiran website dengan berbagai cara. Masyarakat dapat mengadukan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika tentang website yang mengandung SARA, konten kekerasan atau pornografi melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kementerian Komunikasi dan Informatika kemudian akan mengkaji apakah laporan tersebut benar adanya situs yang dikeluhkan mengandung unsur illegal. Undang-Undang Transaksi Elektronik (UU ITE). Laporan yang disampaikan oleh masyarakat nantinya akan dimasukkan ke dalam website TRUST+ Positive yang dibuat oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pada tanggal 3 April 2015, di bawah kepemimpinan Menteri Rudiantara, dibentuk Forum Situs Internet Konten Negatif (PSIBN) yang terdiri dari empat kelompok yaitu: terorisme dan SARA; investasi ilegal, penipuan, dan perjudian; Farmasi dan bidang makanan dan obat-obatan, dan bidang kekayaan intelektual. Setiap kelompok terdiri dari individu-individu luar biasa dan para ahli dengan keahlian di bidangnya masing-masing. Jika situs web yang dilaporkan mengandung konten ilegal, Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memasukkan situs web tersebut ke dalam daftar TRUST+Positive dan mewajibkan semua penyedia layanan Internet untuk memblokir situs web tersebut dalam waktu 3X 24 jam. Jika Internet Service Provider tidak melakukan pemblokiran terhadap website yang terdaftar pada TRUST+ Positive list dalam waktu 3 X 24 jam, maka lisensinya terancam dicabut Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Pada tanggal 7 Agustus 2018, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengeluarkan kebijakan baru untuk mengatur apa yang dianggap negatif di Internet, yaitu memaksa penyedia layanan Internet untuk mengaktifkan mode pencarian aman di setiap mesin pencari yang digunakan di Indonesia, seperti Google Dan Bing, menyaring konten yang melanggar hukum.
Dalam Permenkominfo No. 19 19 Tahun 2014, ada beberapa pemangku kepentingan yang menerapkan pengolahan dan pemblokiran konten negatif di Internet. Pertama, Menteri Komunikasi dan Informatika selaku Kepala Kementerian Komunikasi dan Informatika berwenang untuk menerapkan kebijakan pemblokiran website di Indonesia. Setelah Menteri Komunikasi dan Informatika, sesuai Permenkominfo Pasal 1(4), direktorat pelaksana kebijakan ini adalah direktorat Aptika. Administrasi Umum Aptika adalah pengelola situs TRUST+ Positif yang merupakan forum bagi situs-situs yang diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Administrasi Umum Aptika memiliki kewenangan untuk mengawasi dan memantau proses pemblokiran.
Menteri Komunikasi dan Informatika memberikan hak akses khusus kepada Kapolri, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk memblokir situs-situs yang mengandung aktivisme dan terorisme. Dalam hal ini Kapolri, Kepala BIN, dan BNPT berhak memblokir langsung situs-situs yang mengandung terorisme dan aktivisme tanpa melalui grup terlebih dahulu.
Kewenangan dalam bentuk Permenkominfo No. awalnya diadopsi. Perpres No. 19 Tahun 2014 semakin memperkuat publikasi daftar blokir/filter website dalam Pasal 40 UU ITE revisi tahun 2016.
Pasal 40 UU ITE berbunyi sebagai berikut:
Ayat (2a): Pemerintah wajib mencegah penyebaran dan penggunaan informasi elektronik dan/atau file elektronik yang mengandung konten terlarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2b) Dalam melaksanakan tindakan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berhak menghentikan akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk menghentikan akses terhadap kontennya yang melanggar hukum.
Penggunaan UU ITE untuk memidanakan jurnalis media
Pasal 27 ayat 3: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan / atau mentransmisikan dan / atau menyebabkan agar dapat diakses Informasi Elektronik dan / atau Dokumen Elektronik dengan isi penghinaan dan / atau pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat 2: Setiap Orang yang secara sadar dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan kebencian atau perselisihan pada individu dan / atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan kelompok etnis, agama, ras, dan antar-kelompok (SARA).
Dalam pemantauan SAFEnet sejak 2008 sampai Desember 2018 terjadi 16 kasus hukum, dalam upaya memidana 14 jurnalis dan 7 media dengan pasal karet UU ITE, dengan rincian sebagai berikut:
Pada 2013 terjadi 2 kasus pada jurnalis, Pada 2015 terjadi 2 kasus terhadap jurnalis dan media tempatnya bekerja sekaligus, Pada 2016 terjadi 6 kasus terhadap jurnalis,Pada 2017 terjadi 3 kasus terhadap 2 jurnalis dan 1 media,Pada 2018 terjadi 8 kasus terhadap 3 jurnalis dan 5 media.
Bagi komunitas jurnalis
Komunitas Jurnalis perlu mengetahui dapat dipidanakannya anggota jurnalis dengan Pers;
Komunitas Jurnalis perlu waspada dan membekali diri dari perkembangan ancaman baru di ranah digital seperti doxing, peretasan data, serangan siber, hingga tindakan persekusi yang muncul belakangan ini;
Komunitas Jurnalis perlu mendorong diperluasnya perlindungan kebebasan pers dan Hak Asasi Manusia bagi jurnalis dan media online untuk menyikapi perkembangan teknologi digital yang tak terelakkan di masa depan;
Komunitas Jurnalis perlu mendorong dihapuskannya pasal-pasal karet UU ITE agar tidak disalahgunakan untuk memidana lebih banyak jurnalis dan media tempatnya bekerja
pasal-pasal karet UU ITE bila dianggap tidak memenuhi standar kualitas pemberitaan dan kaidah jurnalistik seperti yang dimaksud dalam UU Nomor 40 tahun 1999 tentang
Bagi Media
Media perlu memenuhi standar kualitas pemberitaan dan kaidah jurnalistik agar kontrol sosial bisa terus berjalan atas jalannya pemerintahan dan kegiatan sosial, politik, ekonomi di Indonesia;
Media memberikan mekanisme hak jawab dan hak koreksi bila terjadi sengketa pers dan melibatkan Dewan Pers manakala terjadi upaya pemidanaan yang ditujukan kepada media dan jurnalis yang dinaunginya;
Media perlu memberikan pengetahuan bagi jurnalis agar terhindar dari praktik pemidanaan dengan pasal-pasal karet di dalam UU ITE atas berita atau pernyataan di media sosial;
Media perlu memberikan pelatihan teknis untuk melindungi jurnalis dari bentuk-bentuk ancaman baru dalam bentuk doxing dan tindakan persekusi di ranah digital;
Media perlu mendorong dihapuskannya pasal-pasal karet UU ITE agar tidak disalahgunakan untuk memidana media dan para jurnalis.