NTTBersuara.Com, WAINGAPU — Kapolres Sumba Barat, AKBP FX Irwan Arianto, SIK., MH diminta untuk lebih bijak menyikapi berbagai diskusi, komentar dan respon masyarakat Sumba yang terjadi di berbagai jejaring media sosial saat ini. Hal ini pemting karena sebagai sesuatu yang baru di Sumba, sesungguhnya PSS sedang mengalami filterisasi untuk benar-benar diterima masyarakat Sumba.
Hal ini disampaikan Pdt. Naftali Djoru yang permyataannya diterima media ini, Sabtu (10/7/2021). Ditegaskannya berbagai fenomena yang terjadi di media sosial terkait kehadiran PSS adalah sebagai bagian dari respon masyarakat Sumba yang sudah memiliki kesatuan sosiologis-kultural-teologis, sehingga respon ini tidak dapat dikategorikan sebagai ujaran kebencian atau Hate Speech.
Berikut pernyataan lengkap Pdt. Naftali Djoru
Salam hormat Bapak Kapolres Sumba Barat.
Terkait dengan pernyataan Bapak dalam link berita dibawah ini yg dihubungkan dengan gonjang ganjing fenomena PSS di Sumba pada sejumlah media sosial beberapa hari ini, ijinkan saya berpendapat:
1. Terkait dengan kondisi aman tentram dan Kamtibmas di Sumba Barat (Sumba secara umum) yang tetap terkendali, saya percaya penuh akan hal itu. Dasarnya adalah karena karakteristik Orang Sumba memang cinta damai dan sangat menghargai perbedaan baik suku, agama, ras maupun antar golongan (SARA). Hal itu sudah terbukti dengan pengakuan publik bahwa NTT (Sumba) adalah daerah yg menghargai kerukunan antar umat beragama. Sebagai contoh, dalam hidup sosial kemasyarakatan, ketika mempersiapkan suatu acara apapun, orang Sumba Non Muslim, selalu meminta saudara/i Muslim untuk menyembelih ternak. Hal ini adalah tradisi kebudayaan dan perilaku sosial yg sudah bergenerasi hidup dan dipraktekkan dalam kelompok2 masyarakat Sumba hingga kini sebagai bentuk penghargaan akan keyakinan (halal dan tidak halal). Hal damai, tenang, tertib dan saling menghargai bukan hal baru lagi pak, namun sudah menjadi spiritualitas kebudayaan bagi orang Sumba.
2. Terkait pernyataan bapak dalam link berita https://tribratanewssumbabarat.com/klarifikasi-kapolres-sumba-barat-terkait-hate-speech-terhadap-kelompok-pejuang-subuh-sumba, yang secara implisit mengklasifikasikan komentar dan diskusi medsos terhadap keberadaan PSS sebagai HATE SPEECH, hemat saya akan lebih bijak jikalau Bapak tidak terlalu cepat menggolongkan semua dinamika medsos sebagai HATE SPEECH. Hendaknya dipahami bahwa berbagai pertanyaan, komentar, pandangan, diskusi tentang PSS adalah bagian dari aspirasi masyarakat yang masih dalam tataran normal dan wajar dalam konteks pluralitas. Alangkah bijaknya jikalau bapak mengembangkan sikap berempati sehingga dapat merasakan gejolak psikologis sosial dalam dinamika relasi bagi entitas2 sosial yg sedang berinteraksi dan berusaha saling memahami dan menerima serta mempertahankan nilai2 integrasi sosial pada tataran lokal dan semangat Nasionalisme NKRI yang sejati. Oleh karena itu maka STIGMA HATE SPEECH justru dapat berdampak “bias” melumpuhkan energi sosial yg sedang terbangun baik untuk membentuk integrasi sosial di kalangan masyarakat Sumba yang sedang berkembang dalam pluralitas hidup berbangsa dan bernegara.
3. Secara sosiologis: kecurigaan, pertanyaan, komentar, bahkan pandangan kritis yang dilontarkan terhadap kehadiran PSS dalam konteks masyarakat Sumba, harusnya dan dihargai sebagai ekspresi keresahan kebanyakan kelompok. Kehadiran PSS dalam aksi dan missinya sebagai gerakan sosio-religius baru di Pulau Sumba, terjadi dalam tatanan kehidupan sosio-religius yg sudah hidup mapan, berakar dan menyatu dengan keutuhan masyarakat Sumba. Karena itu sesuatu yg baru itu harus betul2 mengalami proses filterisasi dan klarifikasi teologis-ideologisnya. Hal ini merupakan konsekwensi logis yg harus diterima oleh PSS, sehingga tidak serta Merta atas nama HAM dan Kebebasan Beragama, mengabaikan prinsip2 kebersamaan dan integrasi sosial dalam proses institusionalisasinya di Pulau Sumba.
4. Terkait dengan filterisasi sosial yg terjadi terhadap PSS, bapak seharusnya memahami resistensi banyak orang Sumba. Resistensi ini berkenaan erat dengan trauma2 perilaku diskriminatif oleh banyak gerakan2 sosio-religius di berbagai belahan wikayah Nusantara ini yang mengatasnamakan agama, namun mempraktekkan sikap2 ekstrimis dan radikalisme terhadap kelompok keagamaan lain di luar dirinya sehingga membahayakan nilai2 nasionalisme Indonesia. Bahkan atas nama agama tidak pantang melakukan tindakan2 kekerasan yg tidak berperikemanusiaan terhadap sesamanya yg dianggap bukan kelompoknya atau kafir.
Berdasarkan hal2 diatas, maka saya sangat berharap kebijaksanaan Bapak selaku salah satu Kapolres di Sumba yang memiliki otoritas menjaga Kamtibmas untuk tidak menggunakan terminologi HATE SPEECH sebagai salah satu instrumen hukum yang menekan dan mengkerdilkan semangat2 integrasi sosial yg sedang terajut secara wajar.
PSS sebagai Gerakan sosial religius yg relatif baru beraktivitas di Sumba, sedang menghadapi proses seleksi sosial ideologis dan teologisnya oleh masyarakat Sumba pemilik kehidupannya di Pulau Sumba ini. PSS Harus mampu membuktikan eksistensinya sebagai gerakan keagamaan yang benar2 menjalankan Missi beragama yang murni.
SUMBA ADALAH INDONESIA. Sebagaimana Indonesia adalah WUJUD kesepakatan setiap kelompok yang berbeda untuk hidup bersama dalam wadah NKRI, serta tidak mentolerir dan memberi sejengkalpun tempat yg terhadap semangat2 radikalisme dan segala kepentingan primordialisme yang akan menghancurkan KEINDONESIAAN kita,….maka SUMBA YANG ADALAH INDONESIA…juga tidak pernah mentolerir dan memberi tempat sejengkalpun kepada kehadiran siapapun yang berpotensi menghancurkan dan merusak nilai2 kebersamaan, persatuan dan kedamaian atas nama apapun di Pulau Sumba.
Mari bergandengan tangan pak untuk membangun ketentraman, kedamaian dan peradaban yang berperikemanusiaan di Pulau Sumba.
Salam hormat, Salam Pancasila, Salam UUD 1945, Salam Bhineka Tunggal Ika, Salam NKRI.(*/lya)